If God Is With Me, Who Can be Against Me?

Faramedia
5 min readNov 20, 2024

--

Sebuah cerita dari pelawak yang terlahir sebagai penjahat

Photo: The Shop at Matter

Bila berbicara komedi, khususnya stand up comedy. Pasti lah tidak jauh pembahasannya dari tragedi. Ya, tragedi dan komedi adalah dua hal yang sifatnya bertolak belakang. Yang satu sedih, yang satu bahagia. Yang satu air mata, yang satu tawa.

Tapi, did you know what? Bahan bakar utama dari canda ialah ironi. Sebuah tragedi yang mendatangkan simpati namun bagi sebagian orang juga bisa dijadikan sebaga alat buat haha hihi. Bagaimana bisa kita tertawa di atas kesedihan orang? Jawabannya, bisa.

Jahat? Nope. Bengis? Nope. Tidak berperikemanusiaan? Mungking, bagi sebagian orang. Namanya juga tawa. Ada yang tertawa karena lucu, ada yang tertawa karena ingin menertawakan. Yang kedua bukanlah bagian dari kami.

Rasa sakit yang kita rasakan di masa lampau setidaknya meninggalkan cerita dan menciptakan siapa kita sekarang. Yang terpenting, bukan hanya itu yang kita nanti dari ironi yang sudah kita lalui. Melainkan berdamai. Ini yang gak semua orang bisa lakukan. Suilit mamen.

Trevor Noah, dalam memoarnya sudah membuktikan itu. Berjudulkan Born a Crime atau yang bila diindonesiakan menjadi Terlahir Sebagai Penjahat. Atau juga dalam terjemahan saya pribadi menjadi Anak Haram.

Trevor adalah seorang komedian yang berasal dari Afrika Selatan. Mendengar nama negaranya saja sudah terngiang di kepala saya lantunan lagu Shakira yang berjudul Waka Waka, official theme song of World Cup 2010. Tapi bukan itu yang akan saya bahas.

Di dalam memoarnya yang berisi 285 halaman terbitan One World itu ia bercerita. Begini singkatnya: Trevor lahir di masa apertheid dari seorang ibu dari Xhosa dan bapak kulit putih asal Swiss. Masa apartheid adalah masa di mana rasisme terkejam di Afrika Selatan terjadi. Di mana ras terbagi menjadi 3 bagian yaitu white, black, and colored.

Aturannya begini: wanita kulit hitam tidak boleh berhubungan seksual dengan lelaki kulit putih. Sudah jelas dong apa yang dilakukan ibu Trevor Noah (Bu Patricia) itu melanggar aturan? Tapi Noah mendeskripsikan ibunya sebagai petarung sejati, keras kepala, dan fans nomor wahidnya Yesus.

I want to have a kid” Kata Bu Patricia kepada tentangga apartmentnya yang orang Swiss.
But I don’t want kids
I don’t ask you to have a kid. I asked you to help me to have my kid. I just want the sperm from you.”

Dari sini saja sudah jelas kalau Trevor anak haram, bukan? Bukan maksud haram secara agama, tapi secara aturan yang berlaku pada masa apartheid. “Hitam tidak boleh bercampur dengan Putih”. Mendengar itu, di kepala saya langsung terlintas: “pantes Oreo kagak ada di South Africa”. Hehe.

“She wanted a child, not a man stepping in to run her life.”

Begitu penjelasan Trevor Noah sejarah begimana beliau lahir. Nine months after that crazy request, Miss Noah came to the hospital asking doctor to put her half-white son’s head out of her belly. The son of a man that will never be seen with him in the public. The ghosted dad. Not the absent father.

Apartheid, or as Trevor Noah described as apart-hated is the worst racism ever to happen in this world.

20 February 1984, seorang komika South Africa yang berambut keriting, berhidung besar dan kulit yang lebih mendekati ke putih daripada ke hitam lahir. Siapa yang menyangka kalau anak haram ini besarnya akan memiliki empat komedi spesial di Netflix dan satu buah memoar yang memorable.

Trevor Noah, a born a crime child with shadowed father from Swiss and a stubborn mother who is idolised Jesus so much has put his feet on this planet. He overcame his pain and his dark family history into a special comedy.

Afraid of the Dark (2017), Son of Patricia (2018), I Wish You Would, (2022), and Where was I (2023). Is the prove that tragedy is the main fuel of comedy. Behind hilarious, there comes dangerous. Trevor Noah, son of Patricia didn’t afraid of racism. He mixed them.

See… komedi itu lahir dari tragedi, kan?

Kalau Bu Patris itu gak begituan sama pria Swiss, mungkin saya tidak akan menonton atau membaca karya-karya fantastis yang Trevor buat. Kalau saja apartheid tidak ada, mungkin Trevor tidak punya keresahan yang bisa ia tuangkan menjadi candaan atau bacaan (?). Tragedi itu indah, bukan?

Berbagai macam alasan tercipta, kebohongan pun lahir, hanya untuk menutupi anak haram ini dari jeratan hukuman pedih apartheid. Bila ketahuan, ibu dari Trevor Noah ini bisa dipenjara setidaknya 5 tahun. Sedeng, ya?

Hidup dalam sembunyi tidak membuat Trevor kecil menjadi penyendiri. Justru, temannya banyak, relasinya luas, dan juga sudah bisa menghasilkan uang sendiri sejak masa sekolah hanya lewat berdagang. Ia juga terkenal sebagai anak yang humoris yang biasa disebut badut tongkrongan.

Kalau misal kalian memiliki teman yang selalu melucu di setiap situasi. Kalian mungkin bisa bertanya “hidupmu menyedihkan, ya?” Biasanya, semakin gelap hidupnya, semakin lucu juga orangnya. Itulah kenapa pemerintah pada lucu-lucu.

Memoar dari Traver Noah ini sangat saya rekomendasikan untuk dibaca dan akan lebih baik bila dibarengi dengan menonton spesialnya di Netflix. Dengan begitu, kamu jadi bisa melihat betapa banyak orang di luar sana yang hidupnya menderita namun tetap bisa berjaya.

Bila apartheid ini ada di zaman sekarang, mungkin banyak gen z sudah ngamuk-ngamuk di X atau pun second IG-nya. Atau yang lebih pasaran lagi; menyilet lengan kiri. Self harm. Lucu bagaimana Trevor memandang masa lalu kelamnya sebagai sebuah candaan sementara ada anak di ibu kota sana yang self harm hanya karena bapaknya gak ngasih iPhone.

Sulit, mamen. Hidup ibu dari Trevor pun bisa kita jadikan sebagai panutan. Nothing to lose and only hoping to Jesus. Hard work, raise a child with love. Teach him with proud, punish him a lot. Cus, if no mama who punished him, the world will.

Sulit juga ya buat nutup ni tulisan. Ya intinya, masa apartheid itu kelam, bengis, dan parah. Restoran aja harus nyediain wc khusus buat orang hitam dan putih. Bila tidak, maka tidak ada izin buka bagi restoran tersebut. Apart-hated, bro.

Semua keresahan dan pahitnya dunia kecil Trevor menjadikannya seorang yang peka dan rajin menyindir isu-isu rasisme ke dalam materi standup-nya. Saya menonton standup-nya terlebih dahulu yaitu Where was I sebelum membaca memoarnya. Di kepala saya selalu muncul pertanyaan “mengapa beliau amat konsen terhadap isu rasisme dan sejarah?”

Jawabannya ternyata ada di memoarnya. Dan satu hal yang selalu ibunya ajarkan untuk menghadapi rasisme ialah “bila kamu mendapatkan rasisme, maka terima itu dan isilah dengan cinta Yesus. lalu kembalikan itu terhadap orang yang melakukan rasime terhadapmu.”

Keras. And Noah did what his mother said. Di spesialnya yang berjudul Son of Patricia, Noah punya bit soal ini. Bit ini sekaligus jadi bukti bahwa komedi adalah salah satu cara menangkal tragedi. Menyadikannya candaan instead of kemarahan.

Dan saya pun akan menutop ocehan tak berujung ini dengan quote yang ia sebutkan di dalam materinya. Bye.

“I’ll never give a racist person the pleasure of seeing my pain. It maybe painful, but i won’t give ’em pleasure of seeing my pain.”

Faramedia, writer and laughter~

--

--

Faramedia
Faramedia

Written by Faramedia

The hillarious writer who now sits in college and having dream swinging around city with Spider-Man. | Ig: by.fara_ X: faramediaa

No responses yet